Tuesday, January 21, 2014

Vitiligo dan Saya (#1)

Butuh waktu yang sangat lama untuk saya menulis tulisan ini. Butuh beribu kekuatan didalam diri yang saya kerahkan hingga akhirnya hari ini saya mempublikasikannya.
Tulisan ini bahkan sudah selesai ditulis 8 bulan yang lalu dengan Bahasa Inggris. 

Tujuan saya disini adalah untuk berbagi rasa dan pengertian. Untuk semua yang memiliki cerita yang sama dengan cerita saya, inilah cerita saya.

Pada umur 13 tahun, saya menemukan bintik putih di kulit saya. Saya melaporkannya kepada Ibu. Ibu saat itu menganggap bahwa ini adalah penyakit kulit jamur biasa, kemudian Beliau mengingatkan saya untuk mandi lebih bersih dan lama.
Namun ketika bintiknya bertambah terang dan mulai menjalar ke daerah lain, saya dan Ibu mulai cemas. Kami mengunjungi dokter kulit, namun tidak mendapatkan penjelasan apapun. Hanya resep dan obat.
Kelas 3 SMP, kami pergi ke kota yang lebih besar untuk menemui dokter kulit terkenal disana. Saya kemudian menjalani laser treatment pertama.
Sebulan kemudian, bercaknya hilang. Saya menjalani masa SMA dengan penuh kebahagiaan.
Tapi kemudian di umur 19 tahun, saya kembali menemukan bercak putih ini. Saya yang saat itu adalah remaja perempuan yang sudah memperhatikan penampilan, mulai stress.
Saya kemudian melakukan browsing dan riset di internet tentang penyakit saya. Dan jreeengg.... Vitiligo!
Kata pertama yang saya baca dan dengar di hidup saya. Saya langsung benci dengan kata ini.
Inilah yang telah menggerogoti kulit saya.

Vitiligo adalah kondisi kronis kulit yang kehilangan pigmen warna (Melanocyte) di beberapa bagian tubuh. Melanocyte hilang akibat kesalahan sistem imun tubuh yang menganggap bahwa melanocytes adalah sel jahat yang harus diberantas. Maka bagian kulit yang sakit akan berubah menjadi albino. Keadaan ini tidak akan membuat saya kesakitan atau infeksi. Karena Vitiligo adalah kelainan genetik, maka Vitiligo bukan merupakan penyakit menular. Ya, saya ulangi, Vitiligo tidak akan menular!
Hanya saja kulit saya akan sangat sensitif dan mudah terbakar matahari. Saya juga harus mengontrol perasaan dan pikiran saya, jauh dari stress. Karena stress adalah pemicu terbesar yang membuat kerja sistem imun saya berantakan.

Sampai disini saya masih baik-baik saja. Kemudian saya melanjutkan riset.

Vitiligo bisa menyebar meluas seiring waktu. Hingga kini masih belum diketahui penyebab dan pengobatannya. Karena Vitiligo adalah penyakit yang berhubungan dengan sistem imun dan genetik, maka Vitiligo tidak bisa disembuhkan.

Disinilah titik poin terendah saya. Seluruh langit rasanya runtuh diatas kepala saya. Sudah tidak ada lagi keceriaan untuk menatap masa depan, keliling dunia, berkarier, memiliki suami dan keluarga. Semuanya seperti terhenti.
Keadaan mental dan hati saya semakin memburuk. Saya kirimkan seluruh hasil riset saya melalui pos ke rumah Ayah dan Ibu.
Kemudian Ibu menelpon saya. Dengan suara bergetar menahan tangis Ibu hanya bilang, "Semua akan baik-baik saja. Bahkan sehelai daun yang jatuh pun sudah ada yang mengatur."
Saya pun mencoba kuat. Toh saya masih bisa bekerja, makan, jalan-jalan, sekolah, bergaul, dan menulis dengan baik dan sehat. Ini hanya masalah estetika. Berarti bukan masalah besar dong, Sha.

Hmm.... Saya bohong.
Tidak semudah itu. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menerima keadaan saya sendiri, menerima perubahan di depan cermin. Gimana nanti kalau penyebarannya semakin agresif? Gimana nanti kalo saya sudah tidak bisa menutupinya? Apa nanti yang harus saya jelaskan ke orang terdekat saya?
Bahkan saya hampir saja meragukan kekuatan dan perhatian Tuhan untuk saya. Saya terus kesal dan bertanya, "kenapa harus saya.", "apa salah saya?", "apa ini kutukan?".

Tapi masalah ternyata memang membuat manusia jadi lebih dekat dengan Tuhan. Garis cinta dan benci saya terhadap Vitiligo sangat tipis.
Saya bahkan kehilangan angka saat menghitung hikmah untuk hidup saya yang Tuhan kirimkan lewat penyakit ini.
Masalah ini juga mendekatkan dan memperkuat seluruh keluarga saya.
Semua bersatu untuk memberikan semangat. Semua membantu mencarikan penyembuhan.
Saya sudah hampir menjalani semua pengobatan, obat-obatan dari yang kimia hingga obat daun ini itu, akupuntur, laser. 
Tapi sepertinya jalan saya masih panjang seiring menyebarnya penyakit ini yang juga semakin luas.

Namun bukankah tidak ada cobaan tanpa solusi dan hikmah, bukankah Dia selalu menjanjikan tidak ada cobaan yang melampaui batas kemampuan umat-Nya. Artinya Tuhan menganggap kekuatan bahu saya lebih besar dari apa yang saya tahu.

Sekarang saya sudah menganggap Vitiligo sebagai bagian hidup saya, bukan sebuah penyakit. Semua rasa risih dan benci terhadap penyakit ini sudah saya buang jauh-jauh. Sekarang saya menggunakan makeup untuk menutup kekurangan saya, untuk berbaur menjadi normal. Untuk menghindari tatapan dan pertanyaan aneh orang-orang.Yang harus dipastikan adalah orang-orang dekat disekitar saya juga harus menerima dan memahami saya apa adanya, dengan Vitiligo. Vitiligo adalah filter otomatis dalam hidup saya, untuk menyaring mana orang-orang yang memberikan aura negatif dan mana orang-orang yang tulus.

Untuk semua orang yang bertanya-tanya tentang keanehan di kulit saya, ini adalah jawabannya. 
Semoga post di blog ini bisa menjelaskan semuanya.

Cheers. :)




No comments:

Post a Comment